Firman Tuhan berkata, “Maka bangsa itu akan desak-mendesak, seorang kepada seorang, yang satu kepada yang lain; orang muda akan membentak-bentak terhadap orang tua, orang hina terhadap orang mulia”(Yesaya 3:5).
Ayat ini mengingatkan kita pada cerita di Alkitab tentang Ismael, putra Abraham yang menjadi “fatherless” karena ditinggalkan sendirian dengan ibunya, Hagar. Akibatnya, keturunan Ismael tidak pernah menjadi bangsa yang akur bahkan sampai sekarang.
Kebutuhan
material makin bertambah membuat prioritas menjadi mengejar materi sehingga
peran seorang ayah kepada anak terabaikan. Akhirnya waktu kebersamaan bersama
anak berkurang dan cenderung tidak berkualitas.
Ketiadaan
peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri. Anak cenderung
minder dan rendah diri serta sulit adaptasi dengan dunia luar.
Anak tidak memiliki kematangan psikologis yang lambat dan cenderung kekanak-kanakan. Anak cenderung lari dari masalah dan emosional saat menghadapi masalah.
Kurang bisa mengambil keputusan dan ragu-ragu dalam banyak situasi yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas.
Kehilangan peran ayah juga menyebabkan seorang anak akan merasakan kesepian, kecemburuan, dan kedukaan.
Ia mengalami kehilangan yang amat sangat, yang ditandai dengan rendahnya kontrol diri, kehilangan inisiatif, kehilangan keberanian mengambil resiko dan gangguan psikologi.
Ia mengalami kecenderungan memiliki neurotik, yaitu gejala yang muncul bisa berupa nyeri, kesemutan, kram otot, hingga susah buang air kecil. Terutama pada anak perempuan.
Jika kita sedang berada dalam keadaan fatherless, maka kita harus keluar dari situasi itu dengan berlari kepada Bapa kita yang di Sorga. Kita akan menemukan apa yang hilang dari hidup kita.
Kita harus mengampuni masa lalu kita, tidak menyimpan dendam dan kepahitan terhadap ayah kita. Kita percaya bahwa Tuhan ijinkan hal itu terjadi pasti untuk kebaikan kita.
1 Komentar